Entah apa yang membawaku untuk berdiri didepan jendela itu, suara hati? Entahlah. Disana seorang lelaki terbingkai sempurna lengkap dengan simbol kejantanan [setidaknya begitu anggapan orang, tidak termasuk aku, tentang...] rokok di antara jemari tangan kirinya sementara tangan kanannya bertumpu pada pagar beton dimana dia duduk. Setelah sebuah hisapan panjang dia membiarkan tangan kiri berikut rokoknya ikut bertumpu di pagar beton selaras dengan sang kanan.
Walau duduk membelakangiku dapat ku baca di punggungnya raut menerawang. Ketika sekali lagi dia menghisap rokoknya ku lihat kepalanya mengikuti asap rokok yang dari tempatku berdiri tampak seperti keluar dari kepalanya yang terdongak menatap asap yang terbang ke atas dan hilang, sekarang dia justru tampak seperti bocah ingusan yang terpukau melihat betapa ajaibnya sang asap. Mengingatkan ku pada masa kecil kala aku dengan antusias menonton bapak merokok sambil berkata " Ayo pak lagi, keluarin asapnya lewat hidung" takjub melihat yang dihisap lewat mulut keluar dari hidung kemudian hilang blas tanpa bekas. Kalau saja aku yang bocah tidak melihat hampir semua lelaki dewasa merokok pasti dengan bangga aku menganggap bapakku pesulap.
Lelaki itu sekarang menjentikkan rokoknya dan abu pun berguguran di rumput hijauku yang oleh lelaki itu dianggap sebagai asbak rokok jagad raya ini. Oh Tuhan... dia adalah salah satu dari manusia-manusia itu, mereka yang menganggap bumi ini adalah tempat sampah jagad raya ini. Mereka yang berpikir sungai mempunyai ilmu gaib yang dapat menghilangkan sampah yang mereka buang ke dalamnya. Tragis miris!
Kemudian pikiran positifku berkata, "Tak mengapa, itu cuma ABU, dia bukannya membuang plastik yang bikin bumi sesak nafas, Las!" Mungkin dia bukan salah satu dari mereka dan kembali ku menatap punggungnya walau itu tak memberi jawaban sampai ketika lelaki itu tiba-tiba membuatku terlonjak bangga setengah mati. Dengan sabar dinantinya bara api kecil di ujung sisa rokoknya padam dengan sendirinya, kehabisan medium menyusut dan mati kemudian diletakkanlah oleh lelaki itu, sang puntung ke saku celana panjang hitamnya tanpa berdiri. Terus dia duduk di pagar beton sampai matahari mulai terlihat kehilangan daya, alam menawarkan lembayung yang menentramkan jiwa yang letih setelah hari yang panjang.
Aku bersiap untuk melihat lelaki itu berdiri, seperti sang sutradara yang tahu persis apa yang dia ingin tokohnya lakukan. Maka berdirilah dia dengan cepat dan memutar badannya yang artinya kini dia berhadapan denganku dalam jarak lima belas meter yang memisahkan kami dan dapat kulihat dengan jelas sekarang raut yang kubaca lewat punggungnya...... matanya yang tersenyum padaku detik ini.
Ku lihat bocah ingusan itu lagi, kini di bola matanya, seakan dia tergelak sambil menceritakan kisah lucunya. Lelaki bermata bocah itu telah berada di depan pintu rumahku, dapat ku dengar nafas teraturnya dari balik sekat kayu jati yang kemudian ku buka perlahan, seketika itu angin menghembuskan perpaduan antara wangi parfumnya yang kubelikan sebagai hadiah ulang tahunnya dan bau asap rokok yang biasanya selalu membuatku mengomel panjang karena menempel lekat di kemejanya tapi hari ini aku ingin mencintai lelaki bermata bocah itu terlebih ketika dia berkata, "Sayang, aku pulang".
3 comments:
Glad im not a smoker.........so i cant actually relate myself to that man...hahaha.....overall its a good story Ayomi.....Enjoying your Blog so much and hope u keep on writings....KUDOS
mbak omi tulisannya keren2 lowh,,
gak biasa,,
ummm,,orang2 biasa bilang apa ya??berbobot?? berbeda?? berisi??
gak ngerti lah,,hewhewhew,,
yg jelas keren lah mbak omi,,
tetep semangat nulis y mbaaak,,xixixixixi,,
Lah ngomongin apa ini? Berat badan yaa? Hehehe, makasih Imaaa...
Mari kita tunggu komentar pedas Jaja Miharja :P
Post a Comment