Aku masih penuh tanya bagaimana dia menyebutkan namaku dengan begitu berbeda, nama sederhanaku yang hanya TIGA huruf. Kamu lagi jatuh cinta tuh, kata sahabatku, aku bisa liat dari wajahmu kentara sekali! Itu ketika aku sedang duduk di sebelah dia di sofa empuk dan berbagi selimut di pagi yang dingin, ketika di luar terlihat embun masih menghalangi pandangan.
Hanya beberapa jam yang lalu kami, aku, dia dan beserta beberapa teman lain, berada di bus malam menuju kota dingin ini. Kami duduk berdua di dalam bis menjauhkan diri dari teman-teman yang sesekali melirik usil ingin tahu kami sedang apa, mereka yang lebih centil daripada gadis-gadis SMU itu terus melongokkan kepala ke arah kami. Kami sedang apa? Hmmm membaca majalah sambil setengah mati memutar otak agar komentar yang keluar membuat lawan bicara kagum atau paling tidak terdengar CERDAS di telinga sendiri. Untung saja majalah yang kami baca bukan Cosmopolitan, bisa mati duduk aku! *pikirkan saja topik diskusi yang bisa diambil dari Cosmopolitan*
Setelah habis membolak-balik majalah kami malah diam seperti adegan malam pertama penganten India, aku menatap jendela bis mencoba memandang keluar walau aku tak lagi bisa melihat pemandangan di luar karena telah ditelan pekatnya malam dan terangnya lampu di dalam bis yang malah memantulkan gerak-gerik para penumpang, aku merasa seperti bercermin. Alih-alih mematut-matut diri sendiri aku mengamati bayangannya, dia yang mulai bercakap-cakap dengan pria tua dengan botol minuman keras di tangan dan tawaran untuk berbagi tegukan remeh temeh ditolaknya dengan sopan.
Si pria tua mulai bercerita tentang mengapa dia berada di bis yang kami tumpangi itu, setangkapku pria tua itu dalam perjalananan ke rumahnya setelah bertahun-tahun tidak pulang. Dia bahkan tidak tahu apakah keluarganya akan menerima kepulangannya dengan tangan terbuka. Pada titik ini aku berusaha meyakinkan diri semua ini bukan bagian dari reality show, tidak ada kamera whatsoever! Tapi cerita ini pastinya bakal bikin produser reality show tertarik.
Aku menonton percakapan mereka dari “layar jendela bis” dan sesekali ku lihat dia menengok ke arahku entah apa maksudnya. Mungkin dia ingin mengecek apa aku masih duduk manis di sampingnya, walaupun gak ada kemungkinan aku lompat keluar dari jendela bis karena bis itu mengadopsi design akuarium! Atau mungkin dia memberi aku delikan minta tolong agar diselamatkan dari percakapan dengan pria tua itu yang, jika benar, kurang berhasil dilakukannya. Aku malah berkata dalam hati, kau terlihat begitu manis saat ngobrol dengan orang asing. Dan itu adalah salah satu keahliannya yang perlahan ditularkannya padaku, “The Art of Talking to Strangers”.
Tak lama kemudian pria tua itu bangkit dari tempat duduknya, bagi seseorang yang cukup lama meninggalkan kota dingin ini pria tua itu memiliki daya ingat yang cukup hebat terlebih dengan kemungkinan dia sedang mabuk, dan kemudian dia berkata bahwa dia akan turun di pemberhentian berikutnya. Saat itu aku mulai memperhatikan pria tua itu tanpa perantara jendela bis sambil menyelipkan lenganku ke lengan dia yang duduk disampingku yang juga tengah memandang pria tua itu. Dalam salam perpisahannya untuk teman barunya pria tua itu berkata baik-baiklah kau dan gadismu, sambil tersenyum padaku mempertontonkan sederetan gigi yang telah ompong di beberapa tempat dimakan usia dan mungkin kebiasaan buruknya. Serta merta aku berseru dalam hati, sepertinya aku menyukaimu pak tua! dan tersenyum padanya.
Sepanjang sisa perjalanan there we were, with arms clenched-silently joyful hearted.
No comments:
Post a Comment